Faktor Penentu Perubahan KEANEKARAGAMAN JENIS Organisme dalam EKOSISTEM


Krebs (1985) menyebutkan ada enam faktor yang menentukan perubahan keanekaragaman jenis organisme dalam satu ekosistem yaitu :


1. Waktu
Selama kurun waktu geologis akan terjadi perubahan keadaan lingkungan, yang mengakibatkan banyak individu yang tidak dapat mempertahankan kehidupannya, tetapi ada juga kelompok-kelompok individu yang mampu bertahan hidup terus dalam waktu relatif lama sebagai hasil proses evolusi.
Evolusi dapat diartikan sebagai proses yang menyebabkan terjadinya perubahan sifat populasi spesies dari waktu ke waktu berikutnya (Untung, 1993). Semakin lama waktu berlangsung berarti makin banyak kesempatan bagi spesies organisme untuk beradaptasi dengan sumberdaya lingkungan setempat bahkan kemudian mengalami spesialisasi dan pemencaran yang pada akhirnya mempengaruhi perubahan keanekaragaman hayati ( Krebs, 1985).
Komunitas yang lebih tua, dan yang telah lama berkembang akan memiliki lebih banyak jenis jasad hidup daripada komunitas muda sehingga tingkat keanekaragaman hayatinya juga akan lebih tinggi. Meskipun demikian, faktor waktu tidak dapat berfungsi sendiri, tetapi hanya akan berfungsi melalui satu atau lebih faktor lain dalam mempengaruhi keanekaragaman hayati (Krebs, 1985).

2. Heterogenitas Ruang
Heterogenitas ruanag umunya terdapat dalam lingkungan yang rumit. Lingkungan yang heterogen dan rumit memiliki daya dukung lebih besar tehadap keanekaragaman organisme yang ada di dalamnya. Heterogenitas tipografik dan mikrohabitat tampaknya lebih dulu berpengaruh pada banyaknya spesies tumbuhan (vegetasi) yang bisa berkembang di dalamnya. Diversitas vegetasi ini yang memungkinkan berkembangnya keanekaragaman herbivor maupun komponen-komponen trofik berikutnya.
Di daerah tropik keanekaragaman spesies tumbuhan lebih tinggi daripada di subtropik, sehingga mempunyai daya dukung yang besar terhadap keanekaragaman spesies herbivora dan karnivora serta menyediakan relung yang lebih banyak untuk didiami organisme (Krebs, 1985).


3. Persaingan
Persaingan (kompetisi) dalam suatu komunitas dapat dikelompokkan menjadi dua jika dilihat dari asalnya yakni persaingan yang berasal dari dalam populasi jenis itu sediri yang disebut intraspesifik dan persaingan yang berasal dari luar populasi tersebut yang disebut ekstraspesifik. Proses persaingan merupakan bagian dari ko-evolusi spesies, karena strategi spesies dalam persaingan merupakan arah seleksi spesies yang menentukan keberhasilan spesies tersebut dalam mempertahankan suatu tingkat kerapatan populasi tertentu dalam lingkungan hidupnya.
Di daerah subtropik seleksi alam lebih banyak ditentukan oleh kondisi lingkungan fisik yang ekstrim, sedangkan di daerah tropik faktor utama yang mengendalikan seleksi alam adalah persaingan antar komponen biologik. Tajamnya kompetisi di daerah tropik telah memaksa spesies-spesies organisme yang hidup di dalamnya untuk memiliki daya adaptasi yang tinggi (Krebs, 1985).

4. Pemangsaan
Keanekaragaman jenis dalam suatu komunitas sangat dipengaruhi oleh hubungan fungsional tingkat tropik atau pemangsaan. Pemangsaan dan persaingan saling menunjang dalam mempengaruhi kenaekaragaman spesies. Pemangsaan besar pengaruhnya terhadap keanekaragaman spesies-spesies yang dimangsa sedang fluktuasi keanekaragaman jenis pemangsa lebih banyak dipengaruhi oleh faktor persaingan. Efesiensi pemangsaan berpengaruh langsung terhadap keanekaragaman jenis dengan mempertahankan monopolisasi syarat-syarat lingkungan utama oleh suatu jenis. Sedangkan efesiensi pemangsaan dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain frekuensi makan, selera pemangsa terhadap rasa mangsa, kerapatan mangsa, kualitas makanan dan adanya inang alternatif (Odum, 1988).
Kondisi daerah tropik memungkinkan keberadaan hewan pemangsa dan parasit dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan di subtropik, dan aktivitasnya menekan populasi inang. Turunnya populasi inang membuat kompetisi antar sesama inang menjadi lebih longgar. Pada kondisi ini sangat mungkin terjadi pertambahan jenis inang yang lain, dan kemudian sekaligus menyebabkan bertambahnya jenis pemangsa dan parasit di dalam ekosistem tersebut (Odum, 1988)

5. Stabilitas Lingkungan
Komunitas sangat dipengaruhi oleh lingkungan fisiknya (radiasi matahari, curah hujan, suhu, kelembaban, salinitas, pH) yang secara bersama-sama membentuk ekosistem. Komunitas di dalam lingkungan fisik yang relatif stabil seperti pada hutan tropik mempunyai keanekaragaman jenis yang lebih tinggi daripada komunitas yang dipengaruhi oleh lingkungan fisik yang tidak stabil atau sering mengalami gangguan musiman secara periodik (Odum, 1985).
Lingkungan yang stabil lebih menjamin keberhasilan adaptasi suatu organisme dan lebih memungkinkan berlangsungnya evolusi daripada lingkungan yang berubah-ubah (tidak stabil) sehingga evolusi tersebut menyebabkan antara lain menyempitnya relung spesies sehingga suatu habitat dapat ditempati jasad hidup yang lebih beranekaragam.


6. Produktivitas
Price (1975), menyatakan produktivitas atau arus energi dapat mempengaruhi keanekaragaman jenis dalam suatu komunitas karena makin besar produktivitas suatu ekosistem maka semakin tinggi keanekaragaman jenis suatu organisme, jika keadaan semua faktor lain sama. Tingkat produktivitas suatu ekosistem dipengaruhi oleh letak lintang geografis dan ketinggian tempat dari permukaan laut. Ekosistem di daerah tropik mempunyai tingkat produktivitas tinggi, dan kian menurun ke arah kutub. Begitu pula ekosistem di dataran rendah akan mempunyai tingkat produktivitas yang tinggi dan semakin menurun ke arah dataran tinggi. Hal ini dikarenakan di daerah tropik dan dataran rendah mempunyai iklim yang relatif lebih stabil sehingga hanya relatif sedikit energi yang dialokasikan untuk proses pengaturan keseimbangan. Sebaliknya cukup banyak energi yang dapat digunakan untuk pertumbuhan dan reproduksi. Dengan demikian populasi maupun jenis organisme di daerah tropik bertambah lebih cepat.
Krebs (1985) menyatakan bahwa masa pertumbuhan yang lebih di daerah tropik menghasilkan komponen spesies yang terbagi dalam ruang dan waktu di ekosistem, sehingga memungkinkan keanekaragaman jenis yang lebih banyak. Keanekaragaman ekosistem mempunyai arti yang sangat penting baik sebagai sumberdaya maupun dalam hal pemeliharaan ekosistem. Hal ini didukung oleh Price(1975), yang mengemukakan bahwa arti penting tersebut terutama karena keanekaragaman hayati dipandang sebagai faktor penentu stabilitas ekosistem, yaitu suatu aspek yang bertalian erat dengan fenomena pendorong terciptanya keseimbangan ekosistem.
Keadaan ekosistem yang stabil terjadi jika kepadatan populasi organisme-organisme selalu cenderung menuju ke arah keseimbangannya masing-masing setelah ada gangguan (perubahan iklim yang ekstrim maupun perubahan rekayasa manusia) yang telah mengenai populasi tersebut (Krebs, 1985). Pada ekosistem yang seimbang tidak ada satu jenis organisme yang menjadi dominan dan populasinya menonjol dibandingkan dengan populasi organisme yang lain (Untung, 1993).
Keanekaragaman hayati dipandang sebagai faktor penentu stabilitas ekosistem. Ekosistem yang stabil terjadi jika kepadatan populasi dari organisme yang ada selalu cenderung menuju ke arah keseimbangan masing-masing setelah adanya gangguan (Krebs, 1985). Tingkat keragaman dicirikan dengan adanya jumlah spesies yang ditemukan dalam suatu lahan. Komunitas dan keragaman yang tinggi, suatu spesies tidak akan menjadi dominan dan sebaliknya, komunitas dengan keragaman rendah akan menyebabkan satu atau dua spesies menjadi dominan. Keragaman dan dominansi berkorelasi negatif, artinya apabila tingkat keragaman tinggi maka tingkat dominansi suatu jenis adalah rendah (Price, 1975).

Krebs, C.J. 1985. Ecology. The Experimental Analisys of Distribution and Abudance. Third Edition. Harper & Raws Publishers. New York.

No comments:

Post a Comment

Mohon Komentar. Terima Kasih

JURNAL PENELITIAN

JURNAL PENELITIAN

Paling Populer