EKOSISTEM

Pernyataan organisme-organisme hidup dan lingkungannya hidupnya berhubungan erat tak terpisahkan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lain. Satuan yang mencakup semua organisme di dalam suatu daerah yang saling mempengaruhi dengan lingkungan fisiknya sehingga arus energi mengarah ke struktur makanan, kenaekaragaman biotik, dan daur-daur bahan yang jelas di dalam sistem, merupakan sistem ekologi atau ekosistem (Odum, 1971). Dari segi makanan, ekosistem memiliki dua komponen yaitu : komponen autotrofik, yang merupakan komponen di mana pengikatan energi sinar, penggunaan senyawa-senyawa organik sederhana, dan membangun senyawa-senyawa kompleks yang menonjol. Komponen yang lain yaitu komponen heterotrofik, di mana pemakaian, pengaturan kembali dan perombakan bahan-bahan yang kompleks yang menonjol.



 

Guna keperluan deskriptif ada baiknya mengetahui komponen-komponen yang merupakan bagian dari ekosistem, yaitu :

  1. Senyawa-senyawa anorganik yang terlibat dalam daur-daur bahan
  2. Senyawa-senyawa organik yang menghubungkan biotik dan abiotik
  3. Resim iklim
  4. Produsen-produsen, organisme-organisme autotrofik, sebagian besar tumbuhan hijau, yang mampu membuat makanan dari senyawa-senyawa organik yang sederhana.
  5. Makrokonsumen atau fagotrof-fagotrof organisme heterotrofik, terutama binatang-binatang yang mencerna organisme-organisme lain atau butiran-butiran bahan organik.
  6. Mikrokonsumen saprotrof-saprotrof atau osmotrof, organisme heterotrofik, terutama bakteri dan cendawan, yang merombak senyawa-senyawa kompleks dari protoplasma mati, menghisap sebagian dari hasil erombakan, dan melepas bahan makanan anorganik yang dapat digunakan oleh produsen bersama-sama dengan senyawa organik, yang memberikan atau menyediakan sumber energi atau yang mungkin menghambat atau merangsang komponen biotik lainnya dari ekosistem.

Komponen pertama hingga ketiga merupakan komponen abiotik, sedangkan komponen keempat hingga keenam merupakan komponen biomass. Dari segi fungsional ekosistem dapat dengan baik dianalisis menurut segi berikut :

  1. Sirkuit-sirkuit energi
  2. Rantai-rantai makanan
  3. Pola-pola keanekaragaman dalam waktu dan ruang
  4. Daur-daur makanan (biogeokimia)
  5. Perkembangan dan evolusi
  6. Pengendalian (cybernetics)

Ekosistem adalah satuan fungsional dasar dalam ekologi, karena memasukan baik organisme biotik maupun lingkungan abiotik, masing-masing saling mempengaruhi. Konsp ekosistem merupakan konsep yang luas, fungsi utamanya di dalam pemikiran atau pandangan ekologi merupakan penekanan hubungan wajib, ketergantungan, hubungan sebab musab, yakni angkaian komponen-komponen untuk membentuk satuan-satuan fungsional.


Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Hutan

http://pvs.kcc.hawaii.edu/images/ike/koa_healthy%20starr.jpg

Kompetisi dan interferensi antar pohon penyusun tegakan walaupun dapat melemahkan atau mematikan pohon-pohon di dalam hutan, tidak digolongkan sebagai faktor-faktor penyebab kerusakan hutan (Nyland, 1996). Hal ini disebabkan karena faktor-faktor tersebut dapat diperkirakan dan pengelola dapat mengendalikan atau menghilangkan faktor-faktor tersebut hanya dengan melalui pengaturan kerapatan dan komposisi dalam tegakan. Sebaliknya faktor-faktor biotik dan abiotik penyebab kerusakan pohon-pohon penyusun hutan merupakan faktor-faktor yang tidak dapat diperkirakan, karena selalu berubah dari waktu ke waktu. Apabila kerusakan itu terjadi pada areal yang luas dan mematikan seluruh pohon-pohon di dalam tegakan, maka akan menimbulkan kerusakan yang disebut katastropi. Kerusakan-kerusakan yang non katastropi biasanya hanya berpengaruh pada individu pohon, namun dalam jangka panjang mungkin dapat juga menyebabkan kerusakan yang fatal dari segi ekonomi. (Sumardi,Widyastuti,2004)

Agens penyebab kerusakan non katastropi dapat (1) merusak bentuk, vigor dan kesehatan pohon, (2) mematikan sebagian atau seluruh pohon, dan (3) mempengaruhi lingkungan sehingga merusak fungsi fisiologi atau pola pertumbuhan pohon. Oleh karena penyebab non katastropi umumnya merupakan komponen ekosistem hutan, maka pengelola hutan harus rnerencanakan upaya pencegahan sebelum kerusakan terjadi. Beberapa langkah yang dapat ditempuh antara lain melalui:

  • Pengendalian langsung yaitu menggunakan pestisida dan cara mekanis,
  • Pengubahan habitat OPT, dan
  • Pencegahan pohon dari serangan OPT, misalnya dengan menggunakan jenis tahan.

Penilaian Kesehatan Hutan

 
Konsep penilaian kesehatan hutan menurut kerusakannya (Mangold, 1997) menilai kesehatan hutan berdasarkan kesehatan pohon penyusunnya, sedangkan kesehatan pohon dipengaruhi oleh kerusakan yang terjadi pada pohon tersebut. Kerusakan atau cacat yang dimaksud dalam penilaian ini adalah segala macam kerusakan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman selanjutnya. Nilai penting kerusakan bagi pertumbuhan ditentukan oleh tipe, lokasi pada tanaman dan tingkat keparahan kerusakan yang terjadi. Tipe kerusakan biasanya sangat spesifik dan masing-masing mempunyai nilai yang spesifik pula. Kanker pada bagian batang memberikan risiko kerusakan lebih tinggi dibanding dengan kerusakan oleh pembengkokan batang Lokasi kerusakan ditentukan berdasarkan atas kedudukan kerusakan pada bagian batang pokok dan pada bagian tajuk. Batang pokok merupakan lokasi yang mempunyai nilai kerusakan lebih tinggi dibanding bagian tanaman yang lain, makin dekat dengan permukaan tanah nilai kerusakan lebih tinggi. Keparahan merupakan faktor lain yang menentukan nilai penting suatu kerusakan dan batas minimalnya ditentukan berdasarkan atas proporsi bagian tanaman yang rusak. Kanker batang yang lebar luka terbesarnya lebih dari 20% lingkar batang tempat kanker terjadi akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman selanjutnya. Berdasarkan Forest Health Monitoring Field Methods Guide (1995), ada 7 (tujuh) indicator utama yang digunakan dalam menilai kesehatan hutan, yaitu Nilai hutan, Klasifikasi Kondisi Tajuk, Penentuan Kerusakan dan Kematian, Radiasi Aktif Fotosintesis, Struktur Vegetasi, Jenis-jenis Tanaman Bioindikator Ozon, dan Komunitas Lumut Kerak, dimana metode, standar ukuran dan jaminan mutunya telah ditetapkan untuk masing-masing indicator. Namun dalam praktikum ini, yang dipantau hanyalah tingkat kerusakan dan kematian pada tegakan di kebun benih ini. Konsep penilaian kesehatan hutan menurut kerusakannya (Mangold, 1997 dalam Sumardi dan Widyastuti, 2004) menilai kesehatan hutan berdasarkan kesehatan pohon penyusunnya, sedangkan kesehatan pohon dipengaruhi oleh kerusakan yang terjadi pada pohon tersebut. Kerusakan pohon dalam hutan dapat terjadi karena aktivitas patogen, serangga atau factor alami, termasuk aktivitas manusia. Kerusakan ini pada batas tertentu dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan pohon dalam hutan dan secara keseluruhan dapat mempengaruhi kesehatan hutan. 
 
Dalam pengelolaan hutan masa kini dan masa depan, informasi tentang kerusakan hutan sangat diperlukan untuk mengetahui perkembangan kondisi hutan. Selain itu, informasi kerusakan hutan ini juga dapat digunakan untuk menilai penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dari kondisi yang diharapkan. Dalam pemantauan kondisi kesehatan hutan, kerusakan-kerusakan yang diperhitungkan adalah kerusakan yang mematikan pohon atau yang mempengaruhi pertumbuhan pohon selanjutnya dalam jangka panjang. Standar penggolongan untuk menilai kerusakan diperlukan agar data yang diperoleh dapat ditelaah dan bermakna. Nilai penting kerusakan bagi pertumbuhan ditentukan oleh tipe, lokasi pada tanaman dan tingkat keparahan kerusakan yang terjadi. 
 
Tipe kerusakan biasanya sangat spesifik dan masing-masing mempunyai nilai yang spesifik juga. Lokasi kerusakan ditentukan berdasarkan atas kedudukan kerusakan pada bagian batang pokok dan pada bagian tajuk. Batang pokok mempunyai nilai kerusakan yang lebih tinggi disbanding bagian tanaman yang lain. Kelas keparahan dan batas minimum ditentukan sesuai dengan jenis kerusakan yang dinilai dan ditentukan berdasarkan proporsi bagian tanaman yang rusak.. Kematian pohon oleh kebakaran, angin, penebangan, kumbang penggerek kayu atau sebab lainnya dapat saja terjadi, walaupun tanda-tandanya tidak nampak. Perkiraan sebab kematian dan lama waktu kematian dapat terjadi merupakan informasi berharga bagi telaah selanjutnya. (Sumardi,Widyastuti,2004)

Monitoring Kesehatan Hutan


Kerusakan atau kerugian yang disebabkan oleh patogen, serangga, polusi udara dan kondisi alamiah lain serta aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh manusia dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan pohon. Kerusakan yang disebabkan oleh agen-agen ini, baik secara sendiri-sendiri atau secara bersamaan, dengan nyata mempengaruhi kesehatan hutan. 
 
Identifikasi tanda dan gejala dari kerusakan yang terjadi merupakan informasi yang berharga yang diperhatikan dari kondisi hutan dan indikasi yang mungkin menyebabkan penyimpangan dari kondisi yang diharapkan. Untuk monitoring kesehatan hutan, tanda-tanda dan gejala-gejala kerusakan dicatat, didefenisikan, apakah kerusakan dapat mematikan pohon atau memberi pengaruh jangka panjang terhadap kemampuan bertahan dari pohon.
 
 Definisi dari kerusakan ini dikembangkan untuk meningkatkan kualitas data dan meningkatkan kemampuan mengulang dari pengukuran. Hanya kategori-kategori kerusakan yang dapat mematikan pohon atau mempengaruhi kemampuan bertahan dari pohon dalam jangka panjang yang dicatat. Penyebab kerusakan yang tidak dicatat memberikan variasi diantara penaksiran. Penempatan kategori kerusakan yang diprioritaskan didasarkan pada menghilangkan ketidak pastian berkaitan dengan perkiraan pengamat. Ambang batas minimum dan keparahan ada untuk kategori kerusakan yang sesuai.

Kesehatan Hutan

 
 
 

 
Kimmins (1997) dalam Sumardi dan Widyastuti (2004) menekankan bahwa hutan yang sehat terbentuk apabila faktor-faktor biotik dan abiotik dalam hutan tersebut tidak menjadi faktor pembatas dalam pencapaian tujuan pengelolaan hutan saat ini maupun masa akan datang. Kondisi hutan sehat ditandai oleh adanya pohon-pohon yang tumbuh subur dan produktif, akumulasi biomasa dan siklus hara cepat, tidak terjadi kerusakan signifikan oleh organisme pengganggu tumbuhan, serta membentuk ekosistem yang khas.
Kelompok yang menekankan aspek lingkungan (Environmental) berpendapat bahwa ekosistem hutan yang sehat terbentuk setelah hutan mencapai tingkat perkembangan klimaks, yang ditandai oleh tajuk berlapis, pohon-pohon penyusun terdiri atas berbagai tingkat umur, didominasi oleh pohon-pohon besar, serta adanya rumpang yang terbentuk karena matinya pohon. Sedangkan kelompok yang mendalami ekologi (ecosystem centered) mengemukakan bahwa ekosistem hutan yang sehat tercapai bila tempat tumbuhnya dapat mendukung ekosistem untuk memperbaharui dirinya sendiri secara alami, mempertahankan diversitas penutupan vegetasi, menjamin stabilitas habitat untuk flora dan fauna, serta terbentuknya hubungan fungsional di antara komunitas tumbuhan, hewan dan lingkungan.
Menurut Sumardi dan Widyastuti (2004), pendapat para ahli tentang kesehatan hutan dan kesehatan ekosistem tersebut menunjukkan bahwa keduanya merupakan tingkatan-tingkatan integrasi biologis. Konsekuensinya ialah antara keduanya mempunyai karakteristik yang sama, namun demikian terdapat perbedaan yang fundamental. Aspek kesehatan ekosistem lebih berhubungan dengan pola penutupan vegetasi dalam kisaran kondisi-kondisi ekologi yang luas, sedangkan kesehatan hutan lebih menekankan pada kondisi suatu tegakan dalam hubungannya dengan manfaat yang diperoleh.
Sumardi dan Widyastuti (2004) mengungkapkan, pada masa lalu program-program pengelolaan kesehatan berasumsi bahwa masalah dianggap ada ketika agens kerusakan menimbulkan kerugian ekonomi yang berarti. Program kesehatan diarahkan untuk menurunkan laju reproduksi dan meningkatkan kematian organisme pengganggu tumbuhan dan dalam jangka panjang mengurangi ledakan organisme tersebut.
Dewasa ini pengelolaan kesehatan hutan didefinisikan sebagai upaya memadukan pengetahuan tentang ekosistem, dinamika populasi dan genetika organisme pengganggu tumbuhan dengan pertimbangan ekonomi untuk menjaga agar resiko kerusakan berada di bawah ambang kerugian. Dengan kata lain pengelolaan kesehatan hutan secara modern berusaha untuk mengendalikan kerusakan tetap di bawah ambang ekonomi yang masih dapat diterima. Intensitas pengendalian diperlukan jika kerusakan sudah di atas ambang ekonomi dan jumlah biaya yang dikeluarkan tergantung dari tujuan pengelolaan dan besarnya kerugian yang terjadi. Artikel Terkait :

Keanekaragaman Hayati dalam Hutan



Hutan sebagai suatu ekosistem, tidak hanya terdiri atas komunitas tumbuhan dan hewan semata tetapi juga meliputi keseluruhan interaksinya dengan faktor tempat tumbuh dan lingkungan (Odum, 1988). Pembentukan dan perkembangan hutan akan terjadi melalui proses yang disebut suksesi.

Kimmins dalam Sumardi dan Widyastuti (2004) mengatakan bahwa dalam proses yang disebut suksesi terjadi proses perubahan dan pergantian antar penyusun hutan dan perubahan faktor lingkungan yang terlibat. Dengan demikian akan terbentuk rangkaian komunitas biotik secara berurutan yang satu menggantikan yang lain sesuai dengan lingkungan yang terjadi dan berkembang. Laju perubahan komposisi biota dalam perkembangan hutan makin lama makin lambat sampai pada tingkat perkembangan yang komposisi biotanya di dalam hutan tidak banyak berubah. Kondisi ini disebut klimaks yang juga disebut sebagai kondisi komunitas yang mencapai keseimbangan alam.

Adanya jalinan komplek yang terdapat di hutan akan membangun struktur yang berkembang tinggi dan jenis beraneka ragam. Atribut struktural hutan terdiri dari komponen komposisi jenis, stratifikasi tajuk, stratifikasi perakaran, diversitas, sebaran spatial dan lain-lain. Kesemuanya merupakan mata rantai dan bila dirusak akan berdampak pada mata rantai lainnya. Penebangan hutan, konversi hutan alam menjadi hutan tanaman, lahan perkebunan, lahan tanaman semusim, lahan pertanian mengakibatkan keseimbangan alam dan ekosistem berubah. Apabila dalam pemanfaatan hutan terjadi kecenderungan dominasi tumbuhan tertentu maka hutan yang mempunyai fungsi utama sebagai perlindungan, perwakilan ekosistem, menjaga satwa dan tumbuhan langka serta keanekaragaman hayati akan menimbulkan pengaruh atau perubahan terhadap ekosistem aslinya. Dengan menurunnya komunitas dan keanekaragaman maka mahluk hidup di dalamnya juga semakin berkurang.

Krebs (1985) mengemukakan bahwa biodiversitas atau keanekaragaman hayati merupakan keadaan yang menggambarkan tingkat keanekaragaman dan banyaknya jenis organisme yang hidup dalam suatu komunitas. Dalam suatu komunitas terjadi interaksi yang dicirikan adanya arus energi dari suatu organisme ke organisme yang lain. Arus energi berlangsung dari tingkat tropik paling rendah ke tingkat tropik paling tinggi membentuk rantai makanan yang saling berhubungan.

Sumber keanekaragaman hayati sangat terkait dengan kehidupan manusia dalam agro ekosistem, perikanan, perhutanan dan industri-industri lainnya. Tidak dapat dielakkan bahwa jenis-jenis yang akan punah sebelum ditemukan karena rusaknya ekosistem alaminya. Pengantisipasian hal-hal tersebut telah ditetapkan undang-undang untuk melindungi jeni-jenis yang ada. Hasil Convention Biological Diversity di Rio De Jenairo dalam Biological Diversity adalah variabilitas antar makhluk hidup dari semua sumber daya termasuk di daratan, ekosistem perairan dan kompleks ekologis termasuk keanekaragaman spesies antar spesies dan ekosistemnya (Marsono, 2004).

Artikel Terkait :

Peranan Serangga Sebagai Spesies Indikator

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEghgSwoDIeDX68mngZphHU4KayVgG5YxMJKmKBzcA79b6DRSoSz0oAtQlYTf7azGWF7CwtpVDEHU_hZDa99lBON1wIH4a2zOM2JHBZ98c_4gwmclwRwYjdtYt9i1MEIejP7WJDMlG-OiHJy/s400/YellowBugs.jpg

Kurang lebih 1 juta spesies serangga telah dideskripsi (dikenal dalam ilmu pengetahuan), dan hal ini merupakan petunjuk bahwa serangga merupakan mahluk hidup yang mendominasi bumi. Diperkirakan masih ada sekitar 10 juta spesies serangga yang belum dideskripsi. Peranan serangga sangat besar dalam menguraikan bahan-bahan tanaman dan binatang dalam rantai makanan ekosistem dan sebagai bahan makanan mahluk hidup lain. Serangga memiliki kemampuan luar biasa dalam beradaptasi dengan keadaan lingkungan yang ekstrem, seperti di padang pasir dan Antarktika. Walaupun ukuran badan serangga relatif kecil dibandingkan dengan vertebrata, kuantitasnya yang demikian besar menyebabkan serangga sangat berperan dalam biodiversity (keanekaragaman bentuk hidup) dan dalam siklus energi dalam suatu habitat. Ukuran tubuh serangga bervariasi dari mikroskopis (seperti Thysanoptera, berbagai macam kutu dan lain-lain.) sampai yang besar seperti walang kayu, kupu-kupu gajah dan sebagainya.

Dalam suatu habitat di hutan hujan tropika diperkirakan, dengan hanya memperhitungkan serangga sosial (jenis-jenis semut, lebah dan rayap), peranannya dalam siklus energi adalah 4 kali peranan jenis-jenis vertebrata. Serangga juga memiliki keanekaragaman luar biasa dalam ukuran, bentuk dan perilaku. Kesuksesan eksistensi kehidupan serangga di bumi ini diduga berkaitan erat dengan rangka luar (eksoskeleton) yang dimilikinya, yaitu kulitnya yang juga merangkap sebagai rangka penunjang tubuhnya, dan ukurannya yang relatif kecil serta kemampuan terbang sebagian besar jenis serangga. Ukuran badannya yang relatif kecil menyebabkan kebutuhan makannya juga relatif sedikit dan lebih mudah memperoleh perlindungan terhadap serangan musuhnya. Serangga juga memiliki kemampuan bereproduksi lebih besar dalam waktu singkat, dan keragaman genetik yang lebih besar. Dengan kemampuannya untuk beradaptasi, menyebabkan banyak jenis serangga merupakan hama tanaman budidaya, yang mampu dengan cepat mengembangkan sifat resistensi terhadap insektisida.

Dengan mengenal serangga terutama biologi dan perilakunya maka diharapkan akan efisien manusia mengendalikan kehidupan serangga yang merugikan ini. Keanekaragaman yang tinggi dalam sifat-sifat morfologi, fisiologi dan perilaku adaptasi dalam lingkungannya, dan demikian banyaknya jenis serangga yang terdapat di muka bumi, menyebabkan banyak kajian ilmu pengetahuan, baik yang murni maupun terapan, menggunakan serangga sebagai model. Kajian dinamika populasi misalnya, bertumpu pada perkembangan populasi serangga. Demikian pula, pola, kajian ekologi, ekosistem dan habitat mengambil serangga sebagai model untuk mengembangkannya ke spesies-spesies lain dan dalam skala yang lebih besar.(Tarumingkeng, 2001).

Manfaat serangga antara lain sebagai penyerbuk (pollinator) andal untuk semua jenis tanaman. Di bidang pertanian serangga berperan membantu meningkatkan produksi buah-buahan dan biji-bijian. Produksi buah-buahan dan biji-bijian meningkat sebesar 40 % berkat bantuan serangga dengan kualitas yang sangat bagus. Di Eropa dan Australia berkembang jasa penyewaan koloni serangga untuk penyerbukan yang melepas kawanan lebah menjelang tanaman berbuah. Serangga juga berperan sebagai organisme perombak (dekomposer) yang mendegradasi kayu yang tumbang, ranting, daun yang jatuh, hewan yang mati dan sisa kotoran hewan. Jenis-jenis seperti rayap, semut, kumbang, kecoa hutan dan lalat akan merombak bahan organik menjadi bahan anorganik yang berfungsi untuk regenerasi dan penyubur tanaman. Serangga juga berperan sebagai pengendali fitofagus (serangga hama bagi tanaman), sehingga tercipta keseimbangan alam yang permanen di dalam ekosistem hutan. Jika proses dalam rantai makanan itu terjaga maka dinamika ekosistem hutanpun akan stabil.
Dari segi pengelolaan hutan, peranan serangga perlu diarahkan kepada pendugaan seberapa jauh serangga tertentu atau dalam hubungan simbiose yang seperti apakah sehingga serangga mempunyai peran sebagai spesies indikator, untuk memprediksi tingkat kepunahan spesies lain atau perubahan mikro lingkungan, habitat maupun ekosistem tertentu. Penggunaan bioindikator akhir-akhir ini dirasakan semakin penting dengan tujuan utama untuk menggambarkan adanya keterkaitan antara faktor biotik dan abiotik lingkungan. Bioindikator (Indikator biologi) adalah jenis atau populasi tumbuhan, hewan dan mikroorganisme yang kehadiran, vitalitas dan responnya akan berubah karena pengaruh kondisi lingkungan. Setiap jenis akan memberikan respon terhadap perubahan lingkungan tergantung dari stimulasi (rangsangan) yang diterimanya. Respon yang diberikan mengindikasikan perubahan dan tingkat pencemaran yang terjadi di lingkungan tersebut dimana respon yang diberikan dapat bersifat sangat sensitif, sensitif atau resisten (Speight et.al., 1999).

McGeoch (1998) dalam Shahabuddin, 2003 menyatakan bioindikator atau indikator ekologis adalah taksa atau kelompok organsime yang sensitif atau dapat memperlihatkan gejala dengan cepat terhadap tekanan lingkungan akibat aktifitas manusia atau akibat kerusakan sistem biotik.
Pearson (1994) membagi indikator biologi atas tiga yakni :

  1. Jenis indikator, dimana kehadiran atau ketidakhadirannya mengindikasikan terjadinya perubahan di lingkungan tersebut. Jenis yang mempunyai toleransi yang rendah terhadap perubahan lingkungan (Stanoecious) sangat tepat digolongkan sebagai jenis indikator. Apabila kehadiran, distribusi serta kelimpahannya tinggi maka jenis tersebut merupakan indikator positif, sebaliknya ketidakhadiran atau hilangnya jenis tersebut merupakan indikator negatif
  2. Jenis monitoring, mengindikasikan adanya polutan di lingkungan baik kuantitas maupun kualitasnya. Jenis Monitoring bersifat sensitif dan rentan terhadap berbagai polutan, sehingga sangat cocok untuk menunjukan kondisi yang akut dan kronis.
  3. Jenis uji, adalah jenis yang dipakai untuk mengetahui pengaruh polutan tertentu di alam.

Penggunaan serangga sebagai indikator kondisi lingkungan atau ekosistem yang ditempatinya telah lama dilakukan. Jenis serangga mulai banyak diteliti karena bermanfaat untuk mengetahui kondisi kesehatan suatu ekosistem. Serangga akuatik selama ini paling banyak digunakan untuk mengetahui kondisi pencemaran air pada suatu daerah, diantaranya adalah beberapa spesies serangga dari ordo Ephemeroptera, Odonata, Diptera, Trichoptera , Plecoptera,Coleoptera,family Scarabidae , Cicindeliadae, Carabidae(Spellerberg,1995). Adapun untuk serangga daratan (‘terrestrial insect’) studi sejenis telah banyak dilakukan pada berbagai kawasan hutan di berbagai negera termasuk di kawasan hutan tropis.

Mengingat banyaknya jenis serangga yang ada dibumi ini, maka studi terhadap serangga bioindikator kondisi hutan lebih banyak difokuskan pada kelompok serangga tertentu. Diantara taksa yang banyak digunakan sebagai biodindikator tersebut adalah famili Scarabidae, Cicindeliadae dan Carabidae dari ordo Coleoptera, beberapa spesies dari Ordo Hymenoptera dan Lepidoptera, serta serangga dari kelompok rayap atau Isoptera (Jones and Eggleton, 2000 dalam Shahabudin, 2003).

Alfaro dan Singh (1997) melaporkan bahwa kelimpahan invertebrata (yang didominasi oleh serangga) pada kanopi hutan umumnya lebih tinggi pada hutan-hutan yang belum rusak yang menunjukkan bahwa mereka merupakan bioindikator yang ideal terhadap kesehatan hutan. Hilszczanski (1997) menggunakan keanekaragaman kumbang (Coleoptera) dari kelompok trofik yang berbeda sebagai indikator atas efek jangka panjang aplikasi insektisida pada ekosistem hutan. (Culotta 1996, dalam Alfaro & Singh, 1997) melaporkan bahwa biodiversitas yang tinggi menyebabkan ekosistem lebih resisten terhadap serangan penyakit dan penyebab kerusakan hutan lainnya yang menurunkan produktivtas primer ekosistem. Sebaliknya, kehilangan biodiversitas menyebabkan tidak stabilnya ekosistem hutan.

Peran serangga sebagai bioindikator ekosistem hutan telah didemonstrasikan dengan baik oleh Klein (1989) yang menguji peran kumbang bubuk dari ordo Coleopterafamili Scarabidae terhadap dekomposisi kotoran hewan pada habitat yang berbeda yakni hutan alami, hutan terfragmentasi dan padang rumput (bekas hutan tebangan) di Amazon bagian Tengah (Central Amazon ). Laju penguraian kotoran hewan menurun sekitar 60 % di hutan alam dibandingkan padang rumput. Meskipun kelimpahan kumbang bubuk pada ketiga habitat tersebut tidak berbeda nyata namun terjadi penurunan sekitar 80 % jumlah jenis kumbang bubuk di padang rumput. Hal ini menegaskan bahwa setiap jenis kumbang bubuk memiliki peran yang cukup penting dibandingkan jenis lainnya sehingga semakin tinggi biodiversitas kumbang bubuk dan serangga lainnya menunjukan kestabilan ekosistem hutan yang semakin mantap.

Kumbang bubuk banyak digunakan dalam studi bioindikator terhadap tingkat kerusakan hutan karena mereka memiliki peran ekologis yang penting dalam ekosistem hutan tropis. Kumbang ini bersama dengan serangga lainnya merupakan organisme dekomposer yang sangat penting, sehingga menentukan ketersediaan unsur hara bagi vegetasi hutan. Mereka juga terlibat dalam penyebaran biji-biji tumbuhan dan pengendalian parasit vertebrata (dengan menghilangkan sumber infeksi). Distribusi lokal dari kumbang bubuk sangat dipengaruhi oleh tingkat naungan vegetasi dan tipe tanah. Selain itu struktur fisik habitat menjadi faktor penting yang mempengaruhi komposisi dan distribusi kumbang bubuk (Davis et al. 2001). Oleh karena itu kelompok serangga ini merupakan indikator yang berguna untuk menggambarkan perbedaan struktur (bentuk arsitek, abiotik) antara habitat. Jadi berbeda dengan serangga lainnya yang menggambarkan perbedaan floristik (Komposisi spesies,biotik) suatu habitat melalui spesialisasi herbivora (seperti pada ngengat dan kupu - kupu).

Studi awal oleh Sahabuddin (2003) menunjukkan adanya pengaruh tata guna lahan terhadap keanekaragaman kumbang bubuk pada pinggiran hutan yang terletak di dataran tinggi (diatas 100 mdpl). Ditemukan adanya indikasi bahwa spesies kumbang bubuk tertentu dari genus Onthopagus relatif toleran terhadap adanya kerusakan habitat sehingga potensi diusulkan sebagai salah satu spesies indikator. Meskipun demikian hal masih perlu dikaji lebih jauh terutama dengan melakukan penelitian yang sejenis pada hutan hujan tropis di dataran rendah. Hal ini sesuai dengan Weaver (1995) bahwa untuk melihat sejauh mana potensi suatu organisme sebagai bioindikator diperlukan pengambilan sampel secara berulang pada kondisi lingkungan yang sama tetapi pada tempat dan musim yang berbeda. Kelimpahan invertebrata (yang didominasi oleh serangga) pada kanopi hutan umumnya lebih tinggi pada hutan-hutan yang belum rusak yang menunjukkan bahwa mereka merupakan bioindikator terhadap kesehatan hutan (Alfaro dan Singh, 1997).

Bioindikasi


 
Dalam bidang konservasi alam dan manajemen lanskap, struktur dan fungsi dari alam dan lanskap dapat dicirikan dengan bantuan dari indikator-indikator. Suatu bidang khusus yang dimaksud adalah bioindikator : organisme-organisme yang fungsi-fungsi kehidupannya dapat dikaitkan dengan faktor-faktor lingkungan tertentu secara sangat dekat sehingga kemudian ia dapat digunakan sebagai indikasi bagi mereka (Ellenberg et al. 1991 dalam Bastian & Steinhardt, 2002). 
 
Indikasi ini dapat disadari dengan kehadiran atau ketidakhadiran dari spesies tertentu atau oleh ciri-ciri spesifik seperti bentuk kehidupan dan bentuk pertumbuhan (perilaku), ritme kehidupan (phenology), kelimpahan, spektrum spesies, juga oleh keanehan-keanehan material. Tumbuhan dan hewan menjadi indikator yang baik dalam penelitian lanskap, sebagai misal dalam mengukur kualitas udara, air dan tanah, dan dalam mendeteksi polusi dan perubahan lanskap. 
 
Bioindikasi kemudian memungkinkan untuk memperkirakan pengaruh total dari suatu keragaman dari efek-efek non spesifik yang merusak dan mengilustrasikannya untuk area-area yang lebih besar. Perilaku ekologis dari spesies tumbuhan dalam lanskap tidak identik dengan keadaan fisiologis puncaknya. Prinsip relatifitas dalam ekologi berarti bahwa pentingnya ekologis dari faktor satu tempat untuk suatu organisme (tumbuhan, hewan, manusia) tidak tergantung hanya pada tingkatnya sendiri (kualitas) dan pengembangan, tapi dari situasi ekologis secara keseluruhan, yakni dari semua faktor yang mempengaruhi makhluk hidup ini. 
 

 
Dengan demikian, validitas dari nilai-nilai indikator dapat dibatasi pada komunitas atau wilayah (tumbuhan) tertentu. Bahkan di Eropa Tengah pun, perilaku ekologis dan sosiologis dari tumbuhan sering bermacam-macam antara lanskap yang mengarahkan pada pentingnya pengkhususan nilai-nilai indikator. Selain itu, heterogenitas ekologis dari banyak spesies sebaiknya dipertimbangkan : seringnya “ekotipe” yang bermacam dapat dibedakan. Suatu kesulitan yang lebih adalah reaksi lambat dari banyak spesies pada perubahan habitat. (Dahmen dan Simon, 1997 dalam Bastian & Steinhardt, 2002). 
 
Bagaimanapun, terdapat banyak aspek-aspek kritis dan pembatasan, khususnya yang disebabkan oleh masalah-masalah metodologis dan kurangnya pengetahuan. Rintangan yang serius yang diakibatkan dari mobilitas hewan, valensi ekologis mereka yang bermacam-macam dan sering tidak diketahui, jumlah yang tidak terbatas dari spesies, suatu eksistensi yang tersembunyi menyebabkan observasi pada banyak spesies hanya terjadi dalam periode pendek dan dengan studi berongkos mahal. (Bastian & Steinhardt, 2002).

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Serangga


Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Serangga

1. Faktor Dalam

Faktor dalam yang mempengaruhi daya tahan serangga untuk dapat tetap hidup dan berkembang biak antara lain adalah :

a. Kemampuan Berkembang Biak

Kemampuan berkembang biak suatu jenis serangga dipengaruhi oleh kecepatan berkembang biak, keperidian dan fekunditas (Natawigena, 1990). Keperidian (natalitas) adalah besarnya kemampuan jenis serangga untuk melahirkan keturunan baru. Serangga umumnya memiliki keperidian yang cukup tinggi . Semakin kecil ukuran serangga, biasanya semakin besar keperidiannya. Sedangkan fekunditas (kesuburan) adalah kemampuan yang dimiliki oleh seekor betina untuk memproduksi telur. Lebih banyak jumlah telur yang dihasilkan, maka lebih tinggi kemampuan berkembang biaknya. Kecepatan berkembang biak dari sejak terjadinya telur sampai menjadi dewasa yang siap berkembang biak, tergantung dari lamanya siklus hidup serangga. Serangga yang memiliki siklus hidupnya pendek, akan memiliki frekuensi bertelur yang lebih tinggi atau lebih sering dibandingkan dengan serangga lainnya yang memiliki siklus hidup lebih lama (Natawigena, 1990).

b. Perbandingan Kelamin

Perbandingan jenis kelamin antara jumlah serangga jantan dan betina yang diturunkan serangga betina kadang-kadang berbeda, misalnya antara jenis betina dan jenis jantan dari keturunan penggerek batang (Tryporyza) adalah dua berbanding satu, lebih banyak jenis betinanya. Suatu perbandingan yang menunjukkan jumlah betina lebih besar dari jumlah jantan, diharapkan akan meghasilkan populasi keturunan berikutnya yang lebih besar, bila dibandingkan dengan suatu populasi yang memiliki perbandingan yang menunjukkan jumlah jantan yang lebih besar dari pada jumlah betina.
Perbedaan jenis kelamin ini dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan, diantaranya keadaan musim dan kepadatan populasi. Seandainya populasinya menjadi lebih padat, maka akan lahir jenis betina-betina yang bersayap, sehingga dapat menyebar dan berkembang biak di tempat-tempat yang baru. Pada musim panas, telur-telur betina hasil pembiakan secara parthenogenesis akan menghasilkan individu-individu jenis jantan maupun jenis betina, yang selanjutnya menghasilkan telur-telur yang dibuahi (Natawigana, 1990).

c. Sifat Mempertahankan Diri

Untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, serangga memiliki alat atau kemampuan untuk melindungi diri dari serangan musuhnya. Misalnya ulat melindungi diri dengan bulu atau selubungnya. Bebarapa spesies serangga dapat mengeluarkan racun atau bau untuk menghindari serangga musuhnya, atau memiliki alat penusuk untuk membunuh lawan atau mangsanya. Kebanyakan serangga akan berusaha menghindar atau meloloskan diri bila terganggu atau diserang musuhnya dengan cara terbang, lari, meloncat, berenang atau menyelam.
Beberapa perlindungan serangga untuk melawan musuhnya adalah : a) Kamuflase (penyamaran), digunakan serangga berbaur pada lingkungan mereka agar terhindar dari pendeteksian pemangsa, seperti menyerupai ranting atau daun tanaman, b) Taktik menakuti musuh, yaitu serangga tertentu mampu mengelabui musuh dengan cara meniru spesies serangga lain agar terhindar dari pemangsanya, yang dikenal dengan istilah serangga mimikri. Cara meniru serangga mimikri terhadap serangga lain, misalnya perilaku, ukuran tubuh, maupun bentuk pola warna, c) Pengeluaran senyawa kimia dan alat penusuk (penyengat) adalah kemampuan serangga mengeluarkan senyawa kimia beracun atau bau untuk menghindari serangan musuhnya. Terdapat alat penusuk pada serangga digunakan untuk menyengat atau membunuh lawan/ mangsanya. (Natawigena, 1990).

d. Daur Hidup


Daur hidup adalah waktu yang dibutuhkan semenjak terjadinya telur sampai serangga menjadi dewasa yang siap untuk berkembang biak. Daur hidup serangga umumnya pendek. Serangga yang memiliki daur hidup yang pendek, akan memiliki frekwensi bertelur yang lebih tinggi atau lebih sering, bila dibandingkan dengan serangga lainnya yang memiliki daur hidup lebih lama (Natawigena, 1990).

e. Umur imago (Serangga Dewasa).


Pada umumnya imago dari seekor serangga berumur pendek, misalnya ngengat (imago) Tryporyza innotata berumur antara 4 – 14 hari. Umur imago yang lebih lama, misalnya kumbang betina Sitophilus oryzae umurnya dapat mencapai antara 3 – 5 bulan, sehingga akan mempunyai kesempatan untuk bertelur lebih sering (Natawigena, 1990).

2. Faktor Luar

Faktor luar yang dapat mempengaruhi kehidupan serangga untuk bertahan hidup dan berkembang biak, yaitu :

1. Faktor Fisis

a. Suhu / Temperatur

Setiap spesies serangga mempunyai jangkauan suhu masing-masing dimana ia dapat hidup, dan pada umunya jangkauan suhu yang efektif adalah suhu minimum. Serangga memiliki kisaran suhu tertentu untuk kehidupannya. Diluar kisaran suhu tersebut serangga dapat mengalami kematian. Efek ini terlihat pada proses fisiologis serangga, dimana pada suhu tertentu aktivitas serangga tinggi dan akan berkurang (menurun) pada suhu yang lain (Ross, et al., 1982;Krebs, 1985). Umumnya kisaran suhu yang efektif adalah 15ºC (suhu minimum), 25ºC suhu optimum dan 45ºC (suhu maksimum). Pada suhu yang optimum kemampuan serangga untuk melahirkan keturunan besar dan kematian (mortalitas) sebelum batas umur akan sedikit (Natawigena, 1990).

b. Kelembaban Hujan

Air merupakan kebutuhan yang mutlak diperlukan bagi mahluk hidup termasuk serangga. Namun kebanyakan air, seperti banjir dan hujan lebat merupakan bahaya bagi kehidupan beberapa jenis serangga, termasuk juga berbagai jenis kupu-kupu yang sedang beterbangan, serta dapat menghanyutkan larva yang baru menetas. (Natawigena, 1990).
Umumnya serangga memperoleh air melalui makanan yang mengandung air. Secara langsung biasanya serangga tidak terpengaruh oleh curah hujan normal, namun hujan yang lebat secara fisik akan menekan populasi serangga. Curah hujan juga memberikan efek secara tidak langsung terhadap kelembaban suatu lahan, , kelembaban di udara, dan tersedianya tanaman sebagai makanan serangga. Seperti halnya suhu, serangga membutuhkan kelembaban tertentu/sesuai bagi perkembangannya. Pada umumnya serangga membutuhkan kelembaban tinggi bagi tubuhnya yang dapat diperoleh langsung melalui udara dan tanaman yang mengandung air (Krebs, 1985).

c. Cahaya, Warna dan Bau

Cahaya adalah faktor ekologi yang besar pengaruhnya bagi serangga, diantaranya lamanya hidup, cara bertelur, dan berubahnya arah terbang. Banyak jenis serangga yang memilki reaksi positif terhadap cahaya dan tertarik oleh sesuatu warna, misalnya oleh warna kuning atau hijau. Beberapa jenis serangga diantaranya mempunyai ketertarikan tersendiri terhadap suatu warna dan bau, misalnya terhadap warna-warna bunga. Akan tetapi ada juga yang tidak menyukai bau tertentu (Natawigena, 1990).

d. Angin

Angin dapat berpengaruh secara langsung terhadap kelembaban dan proses penguapan badan serangga dan juga berperan besar dalam penyebaran suatu serangga dari tempat yang satu ke tempat lainnya. Baik memiliki ukuran sayap besar maupun yang kecil, dapat membawa beberapa ratus meter di udara bahkan ribuan kilometer (Natawigena, 1990).

e. Makanan

Tersedianya makanan baik kualitas yang cocok maupun kualitas yang cukup bagi serangga, akan menyebabkan meningkatnya populasi serangga dengan cepat. Sebaliknya apabila keadaan kekurangan makanan, maka populasi serangga dapat menurun.

2. Faktor Hayati / Bologi

Faktor hayati atau faktor biologi berupa predator, parasit, potogen atau musuh-musuh alami bagi serangga.

a. Predator

Predator yaitu binatang atau serangga yang memangsa binatang atau serangga lain. Istilah predatisme adalah suatu bentuk simbiosis dari dua individu yang salah satu diantara individu tersebut menyerang atau memakan individu lainnya satu atau lebih spesies, untuk kepentingan hidupnya yang dapat dilakukan dengan berulang-ulang. Individu yang diserang disebut mangsa.

b. Parasit

Parasitisme adalah bentuk simbiosis dari dua individu yang satu tinggal, berlindung atau maka di atau dari individu lainnya yang disebut inang, selama hidupnya atau sebagian dari masa hidupnya. Bagi parasit, inang adalah habitatnya sedangkan mangsa bagi predator bukan merupakan habitatnya, selain itu pada
umumnya parasit memerlukan suatu individu inang bagi pertumbuhannya, apakah dalam jangka waktu sampai dewasa atau hanya sebagian dari stadia hidupnya, sedangkan predator memerlukan beberapa mangsa selama hidupnya. Predator pada umumnya lebih aktif dan mempunyai daur hidup yang lebih panjang, sedangkan parasit tidak banyak bergerak, agak menetap dan cenderung memiliki daur hidup yang pendek. Demikian pula ukuran tubuh predator lebih besar bila dibandingkan dengan mangsanya, sedangkan parasit pada umumnya memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil bila dibandingkan dengan inangnya (Natawigena, 1990).

Faktor Penentu Perubahan KEANEKARAGAMAN JENIS Organisme dalam EKOSISTEM


Krebs (1985) menyebutkan ada enam faktor yang menentukan perubahan keanekaragaman jenis organisme dalam satu ekosistem yaitu :


1. Waktu
Selama kurun waktu geologis akan terjadi perubahan keadaan lingkungan, yang mengakibatkan banyak individu yang tidak dapat mempertahankan kehidupannya, tetapi ada juga kelompok-kelompok individu yang mampu bertahan hidup terus dalam waktu relatif lama sebagai hasil proses evolusi.
Evolusi dapat diartikan sebagai proses yang menyebabkan terjadinya perubahan sifat populasi spesies dari waktu ke waktu berikutnya (Untung, 1993). Semakin lama waktu berlangsung berarti makin banyak kesempatan bagi spesies organisme untuk beradaptasi dengan sumberdaya lingkungan setempat bahkan kemudian mengalami spesialisasi dan pemencaran yang pada akhirnya mempengaruhi perubahan keanekaragaman hayati ( Krebs, 1985).
Komunitas yang lebih tua, dan yang telah lama berkembang akan memiliki lebih banyak jenis jasad hidup daripada komunitas muda sehingga tingkat keanekaragaman hayatinya juga akan lebih tinggi. Meskipun demikian, faktor waktu tidak dapat berfungsi sendiri, tetapi hanya akan berfungsi melalui satu atau lebih faktor lain dalam mempengaruhi keanekaragaman hayati (Krebs, 1985).

2. Heterogenitas Ruang
Heterogenitas ruanag umunya terdapat dalam lingkungan yang rumit. Lingkungan yang heterogen dan rumit memiliki daya dukung lebih besar tehadap keanekaragaman organisme yang ada di dalamnya. Heterogenitas tipografik dan mikrohabitat tampaknya lebih dulu berpengaruh pada banyaknya spesies tumbuhan (vegetasi) yang bisa berkembang di dalamnya. Diversitas vegetasi ini yang memungkinkan berkembangnya keanekaragaman herbivor maupun komponen-komponen trofik berikutnya.
Di daerah tropik keanekaragaman spesies tumbuhan lebih tinggi daripada di subtropik, sehingga mempunyai daya dukung yang besar terhadap keanekaragaman spesies herbivora dan karnivora serta menyediakan relung yang lebih banyak untuk didiami organisme (Krebs, 1985).


3. Persaingan
Persaingan (kompetisi) dalam suatu komunitas dapat dikelompokkan menjadi dua jika dilihat dari asalnya yakni persaingan yang berasal dari dalam populasi jenis itu sediri yang disebut intraspesifik dan persaingan yang berasal dari luar populasi tersebut yang disebut ekstraspesifik. Proses persaingan merupakan bagian dari ko-evolusi spesies, karena strategi spesies dalam persaingan merupakan arah seleksi spesies yang menentukan keberhasilan spesies tersebut dalam mempertahankan suatu tingkat kerapatan populasi tertentu dalam lingkungan hidupnya.
Di daerah subtropik seleksi alam lebih banyak ditentukan oleh kondisi lingkungan fisik yang ekstrim, sedangkan di daerah tropik faktor utama yang mengendalikan seleksi alam adalah persaingan antar komponen biologik. Tajamnya kompetisi di daerah tropik telah memaksa spesies-spesies organisme yang hidup di dalamnya untuk memiliki daya adaptasi yang tinggi (Krebs, 1985).

4. Pemangsaan
Keanekaragaman jenis dalam suatu komunitas sangat dipengaruhi oleh hubungan fungsional tingkat tropik atau pemangsaan. Pemangsaan dan persaingan saling menunjang dalam mempengaruhi kenaekaragaman spesies. Pemangsaan besar pengaruhnya terhadap keanekaragaman spesies-spesies yang dimangsa sedang fluktuasi keanekaragaman jenis pemangsa lebih banyak dipengaruhi oleh faktor persaingan. Efesiensi pemangsaan berpengaruh langsung terhadap keanekaragaman jenis dengan mempertahankan monopolisasi syarat-syarat lingkungan utama oleh suatu jenis. Sedangkan efesiensi pemangsaan dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain frekuensi makan, selera pemangsa terhadap rasa mangsa, kerapatan mangsa, kualitas makanan dan adanya inang alternatif (Odum, 1988).
Kondisi daerah tropik memungkinkan keberadaan hewan pemangsa dan parasit dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan di subtropik, dan aktivitasnya menekan populasi inang. Turunnya populasi inang membuat kompetisi antar sesama inang menjadi lebih longgar. Pada kondisi ini sangat mungkin terjadi pertambahan jenis inang yang lain, dan kemudian sekaligus menyebabkan bertambahnya jenis pemangsa dan parasit di dalam ekosistem tersebut (Odum, 1988)

5. Stabilitas Lingkungan
Komunitas sangat dipengaruhi oleh lingkungan fisiknya (radiasi matahari, curah hujan, suhu, kelembaban, salinitas, pH) yang secara bersama-sama membentuk ekosistem. Komunitas di dalam lingkungan fisik yang relatif stabil seperti pada hutan tropik mempunyai keanekaragaman jenis yang lebih tinggi daripada komunitas yang dipengaruhi oleh lingkungan fisik yang tidak stabil atau sering mengalami gangguan musiman secara periodik (Odum, 1985).
Lingkungan yang stabil lebih menjamin keberhasilan adaptasi suatu organisme dan lebih memungkinkan berlangsungnya evolusi daripada lingkungan yang berubah-ubah (tidak stabil) sehingga evolusi tersebut menyebabkan antara lain menyempitnya relung spesies sehingga suatu habitat dapat ditempati jasad hidup yang lebih beranekaragam.


6. Produktivitas
Price (1975), menyatakan produktivitas atau arus energi dapat mempengaruhi keanekaragaman jenis dalam suatu komunitas karena makin besar produktivitas suatu ekosistem maka semakin tinggi keanekaragaman jenis suatu organisme, jika keadaan semua faktor lain sama. Tingkat produktivitas suatu ekosistem dipengaruhi oleh letak lintang geografis dan ketinggian tempat dari permukaan laut. Ekosistem di daerah tropik mempunyai tingkat produktivitas tinggi, dan kian menurun ke arah kutub. Begitu pula ekosistem di dataran rendah akan mempunyai tingkat produktivitas yang tinggi dan semakin menurun ke arah dataran tinggi. Hal ini dikarenakan di daerah tropik dan dataran rendah mempunyai iklim yang relatif lebih stabil sehingga hanya relatif sedikit energi yang dialokasikan untuk proses pengaturan keseimbangan. Sebaliknya cukup banyak energi yang dapat digunakan untuk pertumbuhan dan reproduksi. Dengan demikian populasi maupun jenis organisme di daerah tropik bertambah lebih cepat.
Krebs (1985) menyatakan bahwa masa pertumbuhan yang lebih di daerah tropik menghasilkan komponen spesies yang terbagi dalam ruang dan waktu di ekosistem, sehingga memungkinkan keanekaragaman jenis yang lebih banyak. Keanekaragaman ekosistem mempunyai arti yang sangat penting baik sebagai sumberdaya maupun dalam hal pemeliharaan ekosistem. Hal ini didukung oleh Price(1975), yang mengemukakan bahwa arti penting tersebut terutama karena keanekaragaman hayati dipandang sebagai faktor penentu stabilitas ekosistem, yaitu suatu aspek yang bertalian erat dengan fenomena pendorong terciptanya keseimbangan ekosistem.
Keadaan ekosistem yang stabil terjadi jika kepadatan populasi organisme-organisme selalu cenderung menuju ke arah keseimbangannya masing-masing setelah ada gangguan (perubahan iklim yang ekstrim maupun perubahan rekayasa manusia) yang telah mengenai populasi tersebut (Krebs, 1985). Pada ekosistem yang seimbang tidak ada satu jenis organisme yang menjadi dominan dan populasinya menonjol dibandingkan dengan populasi organisme yang lain (Untung, 1993).
Keanekaragaman hayati dipandang sebagai faktor penentu stabilitas ekosistem. Ekosistem yang stabil terjadi jika kepadatan populasi dari organisme yang ada selalu cenderung menuju ke arah keseimbangan masing-masing setelah adanya gangguan (Krebs, 1985). Tingkat keragaman dicirikan dengan adanya jumlah spesies yang ditemukan dalam suatu lahan. Komunitas dan keragaman yang tinggi, suatu spesies tidak akan menjadi dominan dan sebaliknya, komunitas dengan keragaman rendah akan menyebabkan satu atau dua spesies menjadi dominan. Keragaman dan dominansi berkorelasi negatif, artinya apabila tingkat keragaman tinggi maka tingkat dominansi suatu jenis adalah rendah (Price, 1975).

Krebs, C.J. 1985. Ecology. The Experimental Analisys of Distribution and Abudance. Third Edition. Harper & Raws Publishers. New York.

Struktur ..:: HUTAN HUJAN TROPIS ::.


1. Ekosistem Hutan Hujan Tropis
Hutan Hujan Tropis adalah suatu masyarakat kompleks merupakan tempat yang menyediakan pohon dari berbagai ukuran. Dalam buku ini istilah kanopi hutan digunakan sebagai suatu yang umum untuk menjelaskan masyarakat tumbuhan keseluruhan di atas bumi. Di dalam kanopi iklim micro berbeda dengan diluarnya; cahaya lebih sedikit, kelembaban sangat tinggi, dan temperatur lebih rendah. Banyak dari pohon yang lebih kecil berkembang dalam naungan pohon yang lebih besar di dalam iklim mikro inilah terjadi pertumbuhan. Di atas bentuk pohon dan dalam iklim mikro dari cakupan pertumbuhan kanopi dari berbagai jenis tumbuhan lain: pemanjat, epiphytes, mencekik, tanaman benalu, dan saprophytes.
Pohon dan kebanyakan dari tumbuhan lain berakar pada tanah dan menyerap unsur hara dan air. Daun-Daun yang gugur, Ranting, Cabang, dan bagian lain yang tersedia; makanan untuk sejumlah inang hewan invertebrata, yang penting seperti rayap, juga untuk jamur dan bakteri. Unsur hara dikembalikan ke tanah lewat pembusukan dari bagian yang jatuh dan dengan pencucian dari daun-daun oleh air hujan. Ini merupakan ciri hutan hujan tropis yang kebanyakan dari gudang unsur hara total ada dalam tumbuhan; secara relatif kecil di simpan dalam tanah.
Di dalam kanopi hutan, terutama di hutan dataran rendah, disana hidup binatang dengan cakupan luas, hewan veterbrata dan invertebrata, beberapa yang makan bagian tumbuhan, yang memakan hewan. Hubungan timbal balik kompleks ada antara tumbuhan dan binatang, sebagai contoh, dalam hubungan dengan penyerbukan bunga dan penyebaran biji. Beberapa tumbuhan, yang disebut myrmecophytes, menyediakan tempat perlindungan untuk semut di dalam organ yang dimodifikasi. Banyak tumbuhan, menghasilkan bahan-kimia yang berbisa bagi banyak serangga dan cara ini untuk perlindungan diri dari pemangsaan.

 
Keseluruhan masyarakat organik dan lingkungan phisik dan kimianya bersama-sama menyusun dasar ekosistem pada hutan hujan tropis. Jika bagian dari hutan menjadi rusak, tumbuhan (dan satwa) terbukanya gap, yang lain menyerbu dengan persaingan; ada suatu suksesi sekunder dari komunitas tumbuhan seral, hingga dengan cepat suatu masyarakat yang serupa menjadi asli seperti semula. Ini disebut “Klimaks”. Pada permukaan tanah terbuka, contohnya, terjadi pada 1963 oleh letusan Gunung Agong di Bali, suatu suksesi primer, atau prisere, terjadi juga hingga Klimaks.

2. Synusiae
Suatu synusia adalah suatu kelompok tumbuhan dari bentuk hidup yang serupa mengisi relung yang sama dan berperan serupa di dalam komunitas dimana bentuknya terpisah (Richards 1952); Ini merupakan suatu bentuk hidup komunitas terpisah.
Synusiae menyediakan suatu bahan untuk menganalisa masyarakat tumbuhan yang kompleks. Richards (1952) telah memperkenalkan suatu penggolongan yang praktis untuk synusiae hutan hujan tropis:

A. Tumbuhan Autotrophic (dengan butir hijau daun)
1. Tumbuhan Independent Mekanis
(a) pohon dan treelets; ( b) herba.
2. Tumbuhan Dependent Mekanis
(a) pemanjat; ( b) para pencekik; ( c) epiphytes ( termasuk semi-parasitic epiphytes).
B. Tumbuhan Heterotrophic (tanpa butir hijau daun).
1. Saprophytes.
2. Parasites.

http://www.ucl.ac.uk/Pharmacology/dc-bits/fungi-pics1-04m.jpg
 
Jenis sangat berbeda hubungan taxonomic menyusun synusiae. Seperti halnya yang dipunyai bentuk hidup umum, banyak juga mempunyai physiognomy yang sangat serupa. Penyajian yang relatif ttg kelompok ekologis berbeda dalam berbagai Formasi hutan hujan tropis adalah penting definisi mereka. Mereka adalah mewakili seluruh hutan hujan dataran rendah yang hijau tropis. Synusiae terjadi sepanjang daerah tropis di mana saja Formasi ditemukan.
 
3. Siklus Pertumbuhan Hutan
Pohon ada yang mati dan secepatnya mati disebabkan umur yang tua, biasanya dari ujung cabang memutar kembali kepada tajuk, sedemikian sehingga spesimen hampir mati tua (`overmature' di dalam bahasa rimbawan) adalah ‘‘stagheaded'', dengan dahan lebat yang diarahkan oleh hilangnya anggota yang semakin langsing; lubang biasanya berongga pada tingkat ini. Gugur tajuk ke bawah adalah bagiannya, dan secepatnya batang dan musim gugur potongan dahan sisanya, sering menyurut oleh suatu hembusan keras badai yang diawali dengan angin. Alternatif batang terpisah sebagai kolom berdiri. Banyak pohon tidak pernah menjangkau tingkat lanjut seperti itu tetapi diserang mati oleh kilat atau turun satu demi satu atau di dalam kelompok pada kedewasaan utama mereka atau lebih awal. Rimbawan mencoba untuk memanen suatu pohon baik sebelum umur tua hampir matinya.
Kematian dari suatu pohon individu atau suatu kelompok menghasilkan suatu gap di dalam kanopi hutan yang memungkinkan pohon lain tumbuh. Ini pada gilirannya menjangkau kedewasaan dan barangkali senescence; kemudian mati. Kanopi Hutan, secara terus menerus mengganti pohon tumbuh dan mati. Ini merupakan suatu kesatuan hidup dalam keadaan keseimbangan dinamis. Itu menyenangkan untuk diteliti pertumbuhan ini siklus kanopi ke dalam tiga fasa: tahap gap, membangun tahap, dan tahap dewasa ( cf. Watt 1947).
Tingkat dan pengaturan dari tahap ini berbeda dari hutan ke hutan, sebagian besar berbeda sebab faktor yang menyebabkan kematian. Di Hutan Hujan Dipterocarpaceae selalu hijau pada Malaya Tengah, suatu daerah dimana gap kecil merupakan hal yang biasa terjadi.
Jumlah materi tumbuhan baru memproduksi per unit area per unit waktu, yang dapat disebut netto produktivitas primer hutan, berbeda antara tiap tahapan. Tahap gap yang rendah, meningkat ke suatu maksimum di dalam tahap pertumbuhan, dan merosot sepanjang tahap dewasa ( cf. Watt 1947).

4. Stratifikasi

Hutan sering dianggap menjadi lapisan atau strata dan formasi hutan berbeda untuk mendapatkan jumlah strata berbeda & Strata ( Lapisan, atau tingkat) sering mudah dilihat dalam hutan atau pada suatu diagram profil, tetapi kadang tidak dapat.
Mungkin pemakaian umum istilah stratifikasi untuk mengacu pada lapisan total tingginya pohon, yang kadang-kadang diambil seperti lapisan tajuk pohon. Pandangan yang klasik lapisan pohon yang selalu hijau dataran rendah tropis hutan hujan adalah bahwa ada lima strata, A-E. Lapisan A merupakan lapisan paling tinggi pohon yang paling besar yang biasanya berdiri seperti terisolasi atau kelompok yang muncul kepala dan bahu, di atas berlanjut lapisan B, kanopi yang utama. Di bawah B adalah suatu tingkat pohon lebih rendah, Lapisan C ditunjukan bergabung dalam B kecuali pada dua poin-poin dekat akhir. Lapisan D adalah berhutan treelets dan lapisan E forest-floor tumbuh-tumbuhan herba dan semaian bibit kecil. Bersama-Sama ini lima lapisan menjadi anggota synusiae dari tumbuhan autotrophic independent mekanis. Dihubungkan dengan Lapisan struktural ini, sering kasus yang di dalam strata yang lebih rendah tajuk pohon kebanyakan lebih tinggi dari lebar, dan sebaliknya.



Konsep struktural lapisan kelihatan hilang pada alam yang dinamis dari kanopi hutan hujan, kenyataannya yang tumbuh dalam ditambah sejak semula. Penambalan pada berbagai ukuran adalah tahap beragam siklum pertumbuhan hutan.
Lapisan bentuk tajuk berhubungan dengan pertumbuhan pohon. Pohon muda masih bertumbuh tingginya lingkar hampir selalu monopodial, dengan batang tunggal (ada beberapa perkecualian, sebagai contoh Alstonia), dan tajuk pada umumnya sempit dan jangkung. Pohon Dewasa kebanyakan jenis adalah sympodial, tanpa batang pusat tunggal, dan beberapa dahan melanjut untuk tumbuh menambah lebar tajuk setelah dewasa tingginya telah dicapai; paling pada umumnya, sympodial tajuk lebih luas dibanding mereka adalah dalam, terus meningkat sangat dengan meningkatnya umur pohon. Pohon lebih pendek belum dewasa dibanding yang tinggi. Lapisan bentuk tajuk begitu sangat diharapkan.
Pertumbuhan Tinggi kebanyakan jenis pohon menjadi sempurna ketika hanya antara sepertiga dan setengah mencapai lubang diameter akhir. Diikuti daun-daunan akan cenderung untuk dipusatkan berlapis-lapis di mana suatu jenis atau suatu kelompok jenis dari dewasa serupa tingginya mendominasi suatu posisi, sebagai contoh, di dalam hutan dipterocarp.
Lapisan struktural kadang-kadang kelihatan pada diagram profil atau di dalam hutan dan jumlah dan tingginya lapisan akan tergantung pada tahap atau mewakili tahap siklus pertumbuhan. Tiga lapisan pohon di dalam pohon hutan hujan tropis yang selalu hijau dataran rendah adalah suatu yang abstrak menyenangkan menghadirkan status yang umum bangunan dan tahap dewasa mempertimbangkan bersama-sama. Tetapi pengambilan data dari suatu area tanpa memperhatikan langkah-langkah yang phasic akan pada umumnya mengaburkan keberadaan lapisan, kecuali Hutan dengan sedikit jenis atau kelompok yang mendewasakan pada kemuliaan berbeda.
Penggunaan lain dari konsep stratifikasi pada ketinggian dimana jenis pohon tertentu atau bahkan keluarga-keluarga biasanya dewasa. Sebagai contoh, di Malaya muncul atau yang paling atas lak terdiri kebanyakan kelompok Dipterocarpaceae dan Leguminosae. Tentang Dipterocarpaceae, Dipterocarpus, Dryobalanops, dan Shorea menyediakan banyak yang muncul dan sebagai pembanding Hopea dan Vatica pohon yang kecil yang B dan C lapisan. Hanya sedikit dari 53 jenis Leguminosae Pohon didalam Malaya adalah umum seperti muncul, terutama jenis Dialium, Koompassia, dan Sindora ( Whitmore 1972d). Hutan hujan dataran rendah selalu hijau Dipterocarp pada umumnya puncak kanopi pada 45 m, dan umumnya pohon individu mencapai tinggi 60 m. Pohon paling tinggi dicatat adalah Kompassia Excelsa ( 80'72 m Malaya, 83'82 m. Sarawak; Gambar. 4.2, p. 54) dan Dryobalanops aromatica 67'1 m ( Foxworthy 1926). Timur Pilipina dipterocarps hanya di tempat penting dan kanopi lebih rendah, sebagai contoh, Vitex cofassus Pometia pinnata di dalam Hutan dataran rendah Bougainville pada umumnya 30- 35 m tinggi dengan muncul tersebar sampai 39 m ( Heyligers 1967).
Burseraceae dan Sapotaceae berlimpah-limpah pada lapisan kanopi utama di barat Malesia dan lapisan puncak kanopi di timur Malesia. Pada daerah yang luas ini tingkat umumnya dikatakan lapisan C atau lapisan pohon bawah berisi kebanyakan jenis dua famili pohon paling besar, Euphorbiaceae dan Rubiaceae, dan banyak Annonaceae, Lauraceae, dan Myristicaceae, di antara yang lain.
Pohon yang mencapai puncak kanopi terlihat ke atmospir eksternal, sangat trerisolasi, temperatur tinggi, dan pergerakan angin harus dipertimbangkan, dan harus yang sesuai diadaptasikan secara fisiologis. Di dalam kanopi microclimate sungguh berbeda, seperti telah digambarkan di pendahuluan pada bab ini dan dilanjutkan yang berikutnya. Mengikutinya mungkin salah satu yang dikenali dari dua kelompok yang berbeda jenis, menyesuaikan untuk diatur dua kondisi-kondisi ini; dan menarik seluruh jenis itu, atau bahkan seluruh familinya, memanfaatkan satu situasi atau yang lain. Jenis yang tumbuh dibawah naungan tetapi mencapai puncak dari kanopi pada tingkat dewasa dengan hidup di dua lingkungan sangat berbeda pada tahap berbeda dalam hidup, dan mungkin berubah secara fisiologis, meskipun demikian data eksperimen masih sebagian besar kekurangan.

5. Bentuk Pohon

Pohon adalah bentuk hidup yang utama pada hutan hujan. Bahkan tumbuhan bawah sebagian besar terdiri dari tambuhan berkayu bergentuk pohon berhutan; semak belukar yang terlihat jarang, meskipun demikian lapisan D sering dengan bebas disebut “lapisan semak belukar”

Tajuk

Aspek yang paling penting dari bentuk pohon untuk rimbawan yang disebut dalam bagian yang sebelumnya, adalah perbedaan antara konstruksi tajuk monopodial dan sympodial. Kebanyakan jenis berubah ke bentuk tajuk sympodial ketika mereka dewasa tetapi beberapa mempertahankan bentuk tajuk monopodial sepanjang seluruh hidup, sebagai contoh, semua Annonaceae dan Myristicaceae di hutan tropis timur jauh, ini umum terjadi di antara jenis pohon kecil berkembang di dalam kanopi. Rimbawan tertarik dengan volume kayu yang meningkat per area, dan pohon-pohon monopodial dengan karakteristik tajuk yang sempit, merupakan subyek yang lebih baik dalam penanaman dibandingkan jenis sympodial. Ini merupakan salah satu alasan mengapa conifer yang akan ditanam pada tropika basah yang memiliki daya tarik lebih untuk diperhatikan, khusunya Pinus spp tropis, dan Araucaria dan mengapa Shorea spp dari kelompok Dipterocarpaceae kayu Meranti Merah Terang dan jenis cepat tumbuh lainnya, jenis yang memerlukan cahaya, jenis kayu keras asli setempat, seperti Albizia falcata, Campnosperma, Endospernum dan Octomeles, memiliki perhatian yang terbatas.
Tajuk pohon memiliki konstruksi yang tepat. Faktor utama yang menentukan bentuk tajuk adalah pertumbuhan apical versus lateral, meristem radial simetrik versus bilateral simetrik, berselang–seling dan berirama versus pertumbuhan berlanjut dari tunas dan daun atau bunga. Kombinasi faktor-faktor ini hanya memberikan pembatasan jumlah total dari model yang mungkin dari konstruksi tajuk. Arsitektur pohon tidak berkorelasi baik dengan taksonomi, beberapa famili kaya akan model, contohnya Euphorbiaceae dan yang lain miskin, contohnya Myristicaceae.

Batang Pohon

Untuk mengamati bentuk batang pohon di atas lantai hutan selalu lebih kurang seperti tiang, sedikitnya sampai bagian yang paling rendah, dan ia merasakan seolah-olah di dalam suatu katedral beratap hijau. Sesungguhnya ada beberapa yang pada umumnya dapat dibandingkan dengan lilin yang kecil, dapat dilihat pada pohon yang di tebang dan kelebihannya harus dibuat ketika membuat tabel volume untuk tujuan kehutanan.
Banir
Tinggi Banir, menyebar, bentuk permukaan dan ketebalan biasanya tetap di dalam suatu jenis dan oleh karena itu, seperti bentuk tajuk penunjang adalah penuntun untuk identifikasi hutan. Ada sedikit bukti yang ganjil untuk menilai kebenaran atau jika tidak menyangkut penyamarataan yang umum bahwa pohon dengan akar ketukan dalam tidak membentuk penunjang, dan sebaliknya.

Kulit Batang

Sesuatu kekeliruan umum bahwa semua atau sebagian pohon hutan memiliki kulit batang yang pucat, tipis dan licin. Ini jauh dari kenyataan, hutan hujan kaya dengan warna dan bayangan dari hitam (Dyospiros) sampai putih (Tristania), sampai warna coklat terang (Eugenia). Kecuali batang-batang pohon yang mengarah keluar iklim mikro hutan, seperti pohon yang dalam proses terisolasi dan pada pinggiran hutan, memiliki warna yang seragam yaitu abu-abu pucat. Sapihan dan tiang yang kecil memiliki kulit batang yang tipis dan lembut. Batang pohon dengan diameter di atas 0.9 m memperlihatkan suatu keaneka ragaman bentuk permukaan, secara kasar seperti bercelah, bersisik, atau “dippled”, dan beberapa licin. Setelah daun, karakteristik permukaan kulit batang dan penampilannya menjadi bantuan yang paling utama ke pengenalan jenis hutan dan mungkin punya arti untuk taksonomi. Beberapa famili homogen kulit batangnya dan yang lain menunjukkan pola gamut.

Bunga

Biasanya bunga berkembang berhubungan dengan batang (Cauliflory) atau cabang (ramiflory) bervariasi antara formasi hutan hujan tropis yang berbeda. Cauliflory adalah paling umum di hutan hujan tropis dataran rendah yang selalu hijau dan berkurang sehubungan dengan pertambahan tinggi tempat.

Akar

Suatu Pertumbuhan, memperbaharui minat akan sistem akar pohon hutan hujan tropis dengan pengembangan studi dalam produktivitas dan siklus hara.. Seperti kebanyakan kasus, kebanyakan akar ditengah hutan hujan ditemukan sampai pada 0.3 m atau kira-kira pada tanah. Banyak pohon yang sistem perakarannya dangkal dengan tidak menembus terlalu dalam semuanya. Beberapa, mungkin sedikit, mempunyai akar ketukan dalam, tetapi oleh karena; berhubungan dengan berbagai kesulitan dalam pelaksanaannya maka sistem perakaran sangat sedikit dipelajari. Nye dan Greenland (1960) sudah memberi perhatian pada peran penting akar secara relatif , beberapa menembus ke kedalaman tertentu untuk mengambil hara mineral dari pelapukan partikel batuan atau horizon alluvial, di samping peran mereka sebagi penstabil dan jangkar. Sesungguhnya sangat sukar untuk mengetahui akar mana yang sangat bagus dan merupakan ciri hidup mereka. Komponen ini kemudian biasanya diremehkan, meskipun demikian esuatu yang sangat substansial dalah menegtahui jumlah biomassa akar. Biomassa akar merupakan urutan kesepuluh dari total biomassa dari dua hutan yang dipelajari. Hal ini merupakan alasan yang dapat dipercaya menagapa akar terkonsentarsi di permukaan karena hara inorganik terbentuk di sana sebagai hasil dekomposisi sisa-sisa bagian tumbuhan yang jatuh dan hewan yang mati.



6. Epifit, pemanjat dan pencekik

Epifit dan pemanjat dibuat stratifikasi. Di dalam masing-masing synusia dua kelompok utama dapat dikenali, suatu photophytic atau kelompok yang memerlukan matahari , menyesuaikan diri secara morfologi maupun fisiologi dengan iklim mikro dari kanopi hutan, dan skiophytic atau kelompok yang memerlukan keteduhan, menyesuaikan diri dengan daerah yang lebih dingin, lebih gelap dan lebih lembab pada iklim mikro dari kanopi hutan, meskipun demikian perbdaan ini tidak pernah absolut.

Epifit

Epifit tajuk pohon seperti kebanyakan anggrek dan Ericaceae. Dalam hutan hujan tropika banyak tumbuh golongan epifit yang jumlahnya kurang lebih 10% dari pohon-pohon dalam hutan hujan (Richards, 1952). Epifit adalah semua tumbuh-tumbuhan yang menempel dan tumbuh di atas tanaman lain untuk mendapatkan sinar matahari dan air. Akan tetapi epifit bukanlah parasit. Epifit bahkan menyediakan tempat tumbuh bagi hewan­hewan tertentu seperti semut-semut pohon dan memainkan peranan penting dalam ekosistem hutan. Sebagian besar tanaman ini (seperti lumut, ganggang, anggrek, dan paku-pakuan) tingkat hidupnya rendah dan bahkan lebih senang hidup di atas tumbuh­tumbuhan lain daripada tumbuh sendiri.

Pemanjat

Banyak pemanjat yang menjangkau puncak kanopi mempunyai bentuk tajuk, dan sering juga ukuran, dari tajuk pohon. Pemanjat biasanya dengan bebas menggantung pada batang pohon, dan dapat berubah menjadi pemanjat berkayu besar. Mereka diwakili oleh banyak famili tumbuhan. Semua kecuali dua jenis dicurigai Gymnosperm Gnetum adalah pemanjat berkayu besar. Di antara pemanjat berkayu besar yang paling umum adalah Annonaceae. Palm yang menjadi pemanjat, rotan, adalah kelas penting lainnya dari pemanjat berkayu besar yang merupakan corak hutan hujan.
Pemanjat berkayu paling besar adalah photophytes dan tumbuh prolifically di dalam pembukaan hutan dan pinggiran hutan, menimbulkan dongeng yang populer rimba raya tebal yang tak dapat tembus. Mereka bertumbuh dalam gap dan tumbuh dengan tajuk pada pohon muda, maka akan ikut dengan bertumbuh tingginya penggantian kanopi. Mereka juga bertumbuh setelah operasi penebangan dan boleh membuktikan suatu rintangan serius kepada pertumbuhan suatu hutan

Pencekik

Para pencekik adalah tumbuhan yang memulai hidupnya sebagai epifit dan menurunkan akar ke tanah dan meningkat dalam jumlah dan ukuran dan bertahan di bawah tekanan dan akhirnya dapat membungkus pohon yang menjadi tuannya sehingga sering pohon itu kemudian mati. Contoh pencekik adalah Schefflera, Fagraea, Timonius, Spondias dan Wightia.

http://mnh20.files.wordpress.com/2010/05/banyan-tree-aerial-root.jpg


JURNAL PENELITIAN

JURNAL PENELITIAN

Paling Populer